Kiai Kholilullah, Pejuang NU Sukabumi di Masa Revolusi Indonesia

by -86 views
kiai-kholilullah,-pejuang-nu-sukabumi-di-masa-revolusi-indonesia

 Tahun ini, haul atau peringatan hari wafatnya tokoh ulama kharismatik tanah air asal Sukabumi, KH. Muhammad Kholilullah, sudah memasuki edisi ke-26. Perhelatan ini biasanya dibarengi dengan haul masyayikh yang dipusatkan di Pondok Pesantren Sirojul Athfal.

Secara istilah, masyayikh merujuk pada guru agung sepuh yang dituakan dan dihormati. Dengan demikian, haul ini bukan sekedar mengenang sosok Kai Kholilullah, melainkan juga untuk para ulama terdahulu di pesantren itu.

Haul tidak bisa dinilai hanya sebagai kumpul-kumpul belaka, tapi lebih jauh dari itu, yakni bagaimana supaya para santri, generasi saat ini dan mendatang serta masyarakat luas bisa memetik hikmah, pelajaran, dan semangat perjuangan yang telah ditorehkan Kiai Kholilullah.

Apa Lili, nama akrabnya, adalah ulama NU di era revolusi melawan kolonial yang patut diteladani. Ia termasuk pejuang yang berkontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia. Salah satu perannya yakni ikut berjuang bersama pasukan Hizbullah ketika perang Bojongkokosan pada 2 dan 9 Desember 1945.

Bayangkan jika tidak ada sosok visioner dan pemberani sepertinya, barangkali bangsa ini masih dalam penguasaan penjajah. Dan kita sebagai anak bangsa mungkin tidak pernah merasakan kemerdekaan seperti sekarang ini.

Di sinilah, nilai luhur yang tak boleh dilupakan dalam konteks haul, karena napak tilas sejarah harus terus dihidupkan agar kita tidak menjadi bangsa yang amnesia. Sebab begitu anak bangsa melupakan sejarah di situlah awal kehancuran sebuah negara. ”Untuk menghancurkan negara atau bangsa, hapus sejarahnya dan tulislah sejarah baru,” begitu kira-kira modus yang dilancarkan kaum orientalisme Barat.

Apa Lili, punya golok pamungkas kesayangan yang digunakan untuk memukul mundur Belanda. Golok inilah salah satu saksi bisu yang paling valid. ”Eta golok aya nu hideungan urut geutih walanda nu dikadeuk keur perang Bojongkokosan”. Dalam terjemahan bebasnya, artinya ”golok itu ada karatan bekas darah orang Belanda yang dibacok).

Selain itu, Apa Lili merupakan ulama pribumi yang lengkap secara penguasaan ilmu. Ia bukan hanya berjuang lewat dakwah atau ucapan tetapi juga berani turun di medan perang secara fisik. Kebetulan ia juga ahli bela diri silat khas Cimande, Gunung Batu dan Cikalong yang sampai sekarang menjadi bagian kearifan lokal bangsa ini. Kadang disela-sela waktu pengajian ashar Apa Lili suka mempraktekkan jurus-jurus tersebut.

Ia adalah ulama intelektual yang menyebarkan Islam melalui pena, bukan seperti ulama kebanyakan yang sekedar menjalankan syariat atau ibadah secara rutin melainkan juga membedah, mendalami dan mengkaji Islam secara komprehensif.

Bukan sekedar hafal ayat dan hadis tapi mengerti betul makna serta asbabun nuzul-nya. Karena itu, ia memiliki perangkat dan pandangan yang luas untuk memaknai teks dalam konteksnya.

Fakta tersebut bisa ditelusuri lewat buku Biografi ”Buya KH. Dadun Sanusi” yang ditulis Lia Nuraliah, pada 2005 lalu. Buku ini menyebutkan, Apa Lili sempat menulis karya buku berjudul ”Isyarah Huruf Hijaiyah” yang dilahirkan dengan cara mengawinkan antara kajian akademis keislaman dan aspirasi spiritualitas atau ilham dari Allah SWT.  

Sebagaimana diketahui ternyata Isyarah Huruf Hijaiyah merupakan karya satu-satu di Indonesia, bahkan dunia. Karya ini kurang lebih ditulis kurang lebih 1 tahun.

Buku fenomenal ini, rutin diajarkan kepada para santrinya, terutama saat pengajian ashar yang digelar dari 1985 hingga 1986. Kemudian karya tersebut disusun ulang sehingga menjadi lebih sistematis oleh anaknya yang bernama KH. Muhammad Djihad Kholilullah.

Lalu, ada hal yang tidak banyak diketahui masyarakat luas kecuali oleh para santrinya atau lingkaran terdekatnya, yaitu ternyata Apa Lili memiliki karomah yang tidak main-main.

Bentuk karomahnya dialami langsung dua santrinya ketika beberapa kali pergi umrah dan haji di mana mereka mengaku bertemu Apa Lili sedang menunaikan shalat di Masjidil Haram, Makkah. Padahal setelah dikonfirmasi saat itu beliau ada di tanah air.

Sebagaimana diketahui, jika ada seseorang yang punya karomah tentu bukan orang sembarangan. Artinya dari segi ketaqwaan sudah lulus verifikasi di hadapan Allah. Sebab orang yang mendapatkan karomah pastinya orang yang bersih dan menjalankan taqwa secara paripurna.

Ada juga cerita salah satu alumni mutaqaddimin pernah terbangun dari tidur saat di pondokan haji karena perutnya terasa diremas dan diminta segera bergegas shalat ke Masjidil Haram. Santri itu konon bernama H. Syamsuri yang tinggal di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Kisah lainnya yang mencerminkan karomah Apa Lili terjadi di suatu hari di tahun 1985. Saat itu ada seorang ibu yang dicuri kalung emasnya dalam perjalanan menuju pasar sekitar pukul 4 pagi. Dasar sial, terduga pencuri itu tertangkap warga dan santri kemudian langsung diinterogasi.

Kendati tertangkap basah tapi tak mengakui perbuatannya, pencuri itu membuat kesal warga dan terpaksa bogem mentah melayang tak henti-hentinya menjurus kepada sang pencuri itu ketika di balai desa, Cimahi. Tapi memang ada yang aneh dari pencuri ini sepertinya ia mengamalkan semacam ilmu kebal sehingga tidak merasakan sakit.

Tak kehabisan akal, entah bagaimana caranya pencuri tersebut berhasil melahirkan diri lalu bersembunyi di plafon masjid. Memang dasar naasnya pencuri ini, Apa Lili keluar rumah setelah pengajian subuh.

Tanpa perlu berkata kasar, keras atau menggunakan nada ancaman, ia meminta pencuri menampakkan diri dari persembunyian. Entah apa yang dibayangkan sang pencuri begitu berhadapan dengan Apa Lili, pencuri tersebut langsung bergetar dan detik itu juga mengaku bahwa orang itu telah mencuri dan karena panik menelan kalung curiannya.

Di situlah petanda kharismatiknya beliau, sebagaimana pernah suatu ketika Apa Lili dan beberapa ulama Sukabumi diundang seorang bupati untuk berdialog pada 1986 terkait protes ulama tentang status haram kupon berhadiah Porkas layaknya lotre atau undian berhadiah karena termasuk judi. Bak bertemu malaikat izrail, bupati ini seperti gugup dan gemetar saat melihat dan duduk berhadapan dengan Apa Lili.

Ia juga termasuk ulama idealis, tidak menghamba kepada penguasa maupun pejabat. Pada 1985, pemda setempat (Sukabumi) menawarkan bantuan senilai Rp.25 juta untuk kebutuhan renovasi total masjid di lingkungan pesantren. Apa Lili menolak begitu diberikan syarat agar masuk partai pendukung pemerintah. Padahal angka itu di zaman itu sudah sangat fantastis.

Akhirnya, ia menyarankan para santrinya mencari pasir di sungai Cimahi dan ikut serta membangun masjid tersebut. Kebetulan ada muhibbien ikut menyumbang keramik untuk halaman depan dan samping masjid. Setelah dihitung, mestinya jumlah keramik tersebut harusnya pas, tapi ada bagian yang tidak berhasil dikeramik karena kurang. Ternyata, bagian yang lewat itu, saat ini menjadi tempat pemakamannya. Ia seolah sudah mempersiapkan dirinya, di mana ia akan dimakamkan.

Hal demikian, bagi sebagian orang memang kadang sulit dicerna secara akal biasa. Tapi sesungguhnya, kejadian sejenis telah lama akrab terdengar di telinga kita. Sebagian orang bahkan mengalaminya langsung. Sulit dipahami tapi itulah yang terjadi.

Sebagaimana, di kala Apa Lili mulai berdakwah (tabligh) ke berbagai kampung, ia pernah bercerita bahwa ke mana ia pergi selalu ada sosok kakek yang terus mengikutinya. Tepatnya saat ia selesai berceramah di kampung Segog, kakek itu memberikan kayu rotan berukuran bulat tapi terlihat ganjil jika dibandingkan dengan ukuran besar rotan pada umumnya.

Tanpa ragu, Apa Lili menerima rotan tersebut dan dijadikannya sebagai tongkat yang kerap menemaninya berkeliling berdakwah. Dan rotan tersebut dimodifikasi dengan sebilah pisau yang mirip sebuah senjata. Konon menurut beberapa cerita orang terdekat, tongkat ini memiliki kegunaan khusus yang pastinya sulit dimengerti orang awam.

Salah satu anak Apa Lili, KH. Muhammad Djihad, pernah berkisah pernah suatu hari ada santri yang kesurupan. Ia spontan membacakan ayat-ayat suci tanpa seperti tidak berpengaruh apa-apa. Namun, ketika Kyai Djihad berkata: ”bejakeun siah ka Apa Lili ngaganggu santri,” (nanti saya bilangin kamu ya ganggu santrinya Apa Lili) anehnya santri itu tidak kesurupan lagi. Padahal posisi Apa Lili saat itu sedang menunaikan ibadah haji.

Bayangkan, mendengar nama Apa Lili, ”setan” pun seperti terbirit-birit ketakutan. Itulah karomah dan sepak terjang Kyai Kholilullah yang jika diceritakan semuanya mungkin akan setebal buku akademis.

Lika-Liku Perjalanan Kyai Kholilullah

Dari cerita singkat di atas kita sudah bisa memahami betapa luar biasanya Apa Lili. Lalu siapakah sesungguhnya KH. Muhammad Kholilullah? Demikian profil ringkasnya. Kyai Kholilullah lahir di kampung Cikaroya, Sukabumi sebuah tempat yang berdekatan dengan kampung Cibaraja. Pada 1913, lahirlah pondok pesantren Sirojul Athfal.

Kyai Kholilullah adalah putra dari H. Turmudzi bin Enom dan Entah Saudah (Siti Saudah) binti Kamsol atau KH. Muhammad Asro. Secara garis keturunan, Kyai Asro merupakan ayah dari KH. Muhammad Masthuro yang mendirikan Pondok Pesantren Al Masthuriyah. Sanadnya berasal dari kakek jalur ibunya hingga ke Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon.

Di usia 6 tahun, sekitar 1919 guru pertama Apa Lili adalah ibu kandungnya sendiri (Siti Saudah) atau kakak dari KH. Masthuro, yang mengajarkan membaca Al-Quran. Lalu Kiai Khoilullah sebagaimana anak pada umumnya memasuki sekolah rakyat negeri (SRN) di usia 7 tahun selama 4 tahun lamanya.

Kemudian beliau melanjutkan menjadi santri di sekolah Ahmadiyah (kini Al Masthuriyah) pada usia 11 tahun yang didirikan Kyai Masthuro yang berada di kampung Tipar tepatnya pada 9 Rabiul Akhir 1338 Hijriah (1 Januari 1920).

Selain mengenyam pendidikan keislaman secara umum, Apa Lili dikenal sebagai tasyabah bi al-salafi al sholihin mina al-mutaqaddimin fi thobaqqaati a-ula yang langsung dibimbing langsung oleh Kyai Masthuro (pamannya dari garis ibu) selama 6 tahun.

Apa Lili belajar banyak dari Kyai Masthuro di antaranya, kitab-kitab tasawuf seperti Al Hikam karangan Ibnu Athaillah dan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali yang dilakukan tiap Rabu selama kurang lebih 5 tahun di rumah Kyai Masthuro. Secara kalkulasi Apa Lili di sini belajar selama 11 tahun dari pamannya sendiri.

Tak cuma berhenti di situ segala jenis kitab kuning habis dilahap Kyai Kholilullah, dan ia belajar kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Habib Syekh bin Salim Al-Athos, terutama pasca shalat ashar, khususnya lagi di bulan Ramadhan.

Dengan demikian, Kyai Kholilullah, khatam menimba ilmu keislaman yang bersumber dari silsilah yang valid dan jelas. Ia pun punya nasab yang jelas ke Rasulullah SAW dari kakek garis ibunya. Setelah belajar banyak, pada 1930 Apa Lili mengajar di Sekolah Ahmadiyah, pada 1941 di pesantren Sirojul Athfal dan pada 1950 di Sirojul Banat. Ketiga lembaga inilah cikal bakal Al Masthuriyah yang tak terpisahkan. Ia mengajar di sana selama 30 tahun lamanya.

Tidak berhenti sampai di situ, pada 1943 Kyai Kholilullah mendirikan majelis ta’lim yang dinamakan ”An Nur” yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya banyak pondok pesantren.

Kemudian pada 1 Januari 1958 (atau 11 Jumadil Akhir 1377 H), berdirilah pondok pesantren Sirojul Athfal hasil tangan dingin Kyai Kholilullah yang terletak di kampung Cibaraja, yang diambil dari nama tempat ia menimba ilmu dan mengajar di pesantren besutan Kyai Masthuro.

Tak lama berselang berdirilah madrasah diniyah pada 1959, setahun setelahnya dan madrasah ibtidaiyah pada 1967 yang sayangnya hanya berjalan 18 tahun sedangkan pesantren Sirojul Athfal dan Madrasah Diniyah masih berlangsung hingga saat ini yang dipimpin dan diasuh oleh para cucu dan cicit beliau.

Selain itu, Apa Lili bukan juga tokoh yang anti-politik. Ia hanya tidak merasa nyaman ketika idealismenya terkesan hendak dibeli sebagaimana cerita bantuan Rp.25 juta di atas dengan syarat tertentu.

Partisipasi politik Kyai Kholilullah bisa dilihat pada tahun 1955 pada saat pemilu pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Apa Lili saat itu memutuskan memilih Partai NU mengikuti jejak Kyai Masthuro pamannya. Bahkan Wakil Rais Aam PBNU, yakni KH E. Fakhruddin Masthuro saat Gus Dur menduduki posisi Ketua Tanfidziyah PBNU adalah adik sepupu Apa Lili dan sampai sekarang anak, cucu dan cicitnya aktif di NU

Tapi kini Apa Lili telah tiada, yang perlu kita lakukan adalah memetik api teladan beliau yang tidak akan lekang oleh waktu, bisa dikatakan ia seorang ulama khos karena sanad nasab dan ilmunya sampai ke Rasulullah SAW, dibuktikan salah satunya dari hasil karya ilmunya “Isyarah Huruf Hijaiyah” dan mempunyai karomah serta tercatat dalam sejarah sebagai pejuang 45. Ia wafat tepat hari Jum’at. Sebuah hari baik menurut Rasulullah.

Tentu orang alim punya caranya sendiri dalam menyampaikan salam perpisahan. Sejatinya ia tidaklah pernah pergi tetapi hanya pulang. Ya, pulang ke pangkuan Tuhan, Allah sang pemilik segala sesuatu.

Tanpa ingin menyisakan kesedihan bagi para anak-anak dan para santrinya. Ia menggunakan metafora atau isyarat untuk berpamitan. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia berkata kepada putra nomor empatnya, Kyai Muhammad Djihad Kholilullah.

Apa hayang balik, pang neangankeun mobil,” (Apa ingin pulang, carikan mobil), kata Apa Lili. Mungkin bingung harus menjawab apa, selain menanggapi secara datar. ”muhun, dipilarian mobilnan” (Iya, sedang dicarikan mobilnya), jawab Kyai Djihad.

Tanpa basa-basi, akhirnya Kyai Kholilullah berpulang ke rahmatullah tepat hari Jum’at pada tahun 1997 persis adzan tanda shalat Jum’at berkumandang. Kebetulan saat itu Ustadz Babas dapat giliran bertugas sebagai khatib.

Kyai Kholilullah, disemayamkan di samping masjid itu, yakni masjid jami’ An Nur dan makam istrinya serta para anaknya (Kyai Badrun Munir dan Kyai Djihad).

Apa Lili tercatat meninggalkan lima orang anak dari istrinya Hj. Nurkholillah binti H. Hanafi yang biasa disapa Mak Deudeuh. Anak-anaknya yaitu Oop Burhanuddin (wafat di usia 4 tahun), Nasibul Aufar (wafat di usia 5 tahun), Kyai Badrun Munir (wafat di usia 63 tahun pada 2006), Kyai Djihad (wafat di usia 69 tahun pada 2014) dan Kyai Muhammad Saefullah (wafat di usia 35 tahun pada 1985).

Meski Apa Lili telah tiada, warisan ilmunya, karomahnya dan semangat perjuangannya tidak pernah absen. Ia selalu hadir bagi para santrinya, umatnya dan bangsa Indonesia.

Lagi-lagi ia tidak pernah pergi, tapi beranjak ke tempat yang kekal abadi. Kesedihan bagi kita semua atas kepergiannya barangkali sebuah pintu masuk menuju kebahagian yang baru bagi Apa Lili.

Kami jadi teringat sebuah syair dari Syeikh Al-Bushairi yang berbunyi: ”bila matamu tak lagi dapat melihat orang yang kau cintai, maka janganlah hendaknya telingamu tak pula mendengar tentang dia.”

Begitu juga sebagaimana syair dari Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad yang pernah berkata: ”dalam mengingat mereka kutemukan kesejukan, yang mengobati kegersangan qalbu”

Dengan demikian, untuk mengenang guru kita tercinta, Kyai Kholilullah haul menjadi sangat dinantikan. Rencananya, acara ini akan digelar pada sabtu, 4 Maret 2023 atau seharian penuh dan dimeriahkan dengan tabligh akbar bagi kaum ibu dimulai pada pukul 07.30 WIB.

Tak lupa, para alumni juga akan saling bersilaturahmi dan ziarah bersama dari pukul 13.00-18.00 WIB, dan juga tabligh akbar umum pada pukul 18.30 WIB yang dipandu oleh tausyiah dari Abuya Kyai Abdullah Mukhtar dan Drs. KH. Endang Kusmana.

*Catatan: artikel ini pernah dipublikasikan di radarsukabumi.com dengan judul “Memetik Api Semangat Perjuangan KH.Muhammad Kholilullah di Haul Ke-26” pada 15 Februari 2023. Artikel ini ditayangkan ulang dengan sedikit perbaikan.

Redaksi Iqra