Oleh : Hasan Sidik (Petani di Desa Pusakamulya)
Setelah lebih dari 3 tahun kita bertiarap di rumah lantaran ganasnya covid19, kini masyarakat bersuka cita merayakan peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke-78.
Angka 78 ini sakral dan syarat makna. Angka 7 dan 8 ini banyak dikupas berkaitan dengan sejarah, tafsiran, mitologi, dan penambatan ragam peristiwa hebat di semesta ini.
Semoga jadi pertanda kebangkitan negeri ini, terutama dari wabah yang secara brutal memorakporandakan berbagai sektor kehidupan, utamanya ekonomi dan kesehatan.
Maka, suka cita yang kita saksikan hari ini, dengan upacara di berbagai instansi, komunitas, juga ragam carnaval dan iring-iringan kreasi masyarakat, menjadi simbol dan ekspresi bahagia warga negara.
Kegembiraan dan ekspresi syukur itu sah saja kita manispestaaikan kedalam ragam aktivitas dan cara. Seumpama carnaval, memikul dongdang, panjat pinang, arak-arakan atau pawai, dan lain-lain.
Tapi lebih dari itu, renungan secara filosofis pun penting kita lakukan juga. Untuk mengevaluasi soal kemerdekaan yang telah diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia 78 tahun silam itu.
*
Tanah & Air
W.R Soperatman, pencipta lagu “Indonesia Raya” di bait pertamanya menulis : Indonesia Tanah Airku…
Secara serampangan, saya ingin membuat simplifikasi, bahwa Indonesia itu ya “Tanah” dan “Air”.
Tanah atau hamparan tanah, secara teori pembentukan suatu negara, adalah syarat berdirinya negara.
Aristoteles umpanya, ia menyebut desa-desa saat mendefinisikan negara. Phillimore menyebut wilayah. Hanya Karl Marx yang menyebut soal “kekuasaan” untuk menindas.
Tanah atau hamparan air yang menjadi kodrat historis Indonesia berdiri, adalah fakta bahwa Tanah dan Air ini kekayaan dan asset tak terhingga.
Dari para leluhur kita mendengar cerita bagaimana penjajah, mulai Portugis, Belanda, Jepang, mereka datang menjajah Indonesia.
Selain menguasai “pemerintahan” mereka juga menguasai beberapa lokasi, kota, atau wilayah.
Kita tahu, ada beberapa wilayah atau tanah yang tak bisa disentuh. Dan itu menjadi simpul-simpul perlawanan bangsa kita dalam merancang kemerdekaan dan revolusi.
Maka tak heran, jika pencipta lagu, penulis cerita, pengarang novel, apalagi angkatan 50 atau 66, itu banyak menggunakan frase “Tanah Air” untuk menggambarkan Republik Indonesia ini.
Sebab faktanya, kita negara kepulauan dengan lautan yang luas. Negara luas dengan tanah-tanah yang subur. Negara rempah yang tanahnya menumbuhkan biji-bijian mahal dalam konstelasi tata niaga dunia.
Maka wajar, penjajah datang berbondong-bondong untuk mencaplok Indonesia. Mereka tahu tanah kita subur. Dan di sanalah tumbuh lada, cengkeh, vanelli, kopi, teh, dan sawit bahan CPO.
Mereka datang dengan agresif. Sebab mereka tahu bahwa lautan kita amat luas. Banyak ikan, minyak bumi, terumbu karang, dan aneka ragam kekayaan lainnya.
*
Kini Tanah dan Air Dijual
Jika dulu para pahlawan bertaruh nyawa untuk mempertahankan wilayah republik Indonesia dengan gigih dan berani, kini justru sebaliknya.
Saat ini lautan banyak direklamasi untuk kemudian dibangun kawasan-kawasan bisnis yang dikuasai asing.
Di pedesaan, tanah-tanah dan mata airnya dijual untuk dieksploitasi menjadi ladang usaha kapitalis.
Apakah investor salah? Tidak! Dalam skema tertentu, justru kitalah yang dengan sukarela melakukan barter dan menggadaikan moralitas nasionalisme kita.
Karena tergiur oleh harga yang tinggi, kita lepas tanah-tanah kita yang darinya sumber mata air mengalir untuk mengairi sawah, ladang, kolam, dan bak mandi kita.
Akhirnya, lambat laun, kita menjadi babu di kampung sendiri. Bahkan, kita mati kehausan padahal kita hidup di lumbung air.
Lalu negara di mana?
Omong kosong kita bicara swasembada pangan jika tanah-tanahnya sudah berubah menjadi vila, perumahan, dan kolam renang.
Omong kosong kita bagian dari Tanah Air Republik Indonesia jika airnya, mata airnya, sudah dieksploitasi menjadi komoditas komersial para pemodal.
Dan yang menyedihkan, pemimpin yang seharusnya membela hak warga dan paling terdepan dalam menjaga alam, justru berkomplot dengan pemodal.
Asal ada setoran, mereka wellcome. Bahkan sesekali menjadi seolah-olah fasilitator bagi kepentingan masyarakat. Kata-katanya susah dipercaya. Bahkan sumpahnya atas nama Allah kadang lipstik belaka. Sesekali masyarakat ditakut-takuti atas nama hukum.
Kegentingan di tengah pemanasan global dan suasana bumi yang payah, mari kita sadarkan diri kita. Mari sadarkan tetangga dan saudara kita. Mari kritik pemimpin kita. Mari ingatkan sesama.
Bahwa benarkah kita sudah merdeka? Atau justru kita merdeka dari kolonialisme Jepang, Belanda dan Portugis, namun kita secara tidak sadar dijajah dalam bentuk dan model yang baru?
Kaki Burangrang Utara, 17 Agustus 2023