Syahdan, kaum Ba’alawi –diakui sebagai keturunan langsung (Arab: sayyid) Nabi Muhammad saw.–sudah menetap di lembah Hadramaut, sebelah selatan Semenanjung Arab, sejak abad ke-10. Hampir semua sayyid yang masih bertahan di Hadramaut menelusuri leluhur mereka dari ‘Alawi bin ‘Ubaidillah (w. Awal abad ke-11) sehingga mereka disebut Ba’alawi atau Bani ‘Alawi (anak cucu ‘Alawi).
Kakek ‘Alawi, Ahmad bin ‘Isa (w. 956), ialah yang perdana bermigrasi ke Hadramut dari Basrah, tahun 931. Setibanya di Hadramaut, Ahmad dan keturunannya menggunakan harta yang mereka bawa dari Irak untuk bercocok tanam, menggarap lahan kosong, dan membudidakan kurma. Perpaduan garis keturunan Rasulullah, ilmu agama, dan usaha pertanian ini menjadi landasan otoritas religius Ba’Alawi selama berabad abad setelahnya.
Memasuki abad ke-13, ulama Ba’alawi, Muhammad bin ‘Ali (w. 1255), mendirikan tarekatnya sendiri, yang kemudian masyhur dengan “Thariqah ‘Alawiyah” atau “Thariqah Sadah Bani ‘Alawi”. Namanya sendiri tampaknya menunjukkan bahwa tarekat ini semula ditujukan sebagai tarekat keluarga sayyid Ba’alawi, yang sebagian besar bermukim di Kota Tarim, Hadramaut, Yaman (Freitag & Clarence-Smith 1997).
Menurut Ismail Fajrie Alatas dalam What is Religious Authority: Cultivating Islamic Communities in Indonesia (2021), dalam tulisan-tulisan para mursyid Tarim terdahulu, Thariqah ‘Alawiyah ini dilukiskan sebagai jalan pengembaraan spiritual (suluk) yang melibatkan penetapan kontrak formal (tahkim) antara murid dan guru spiritual (mursyid). Jenis relasi antara mursyid dan murid ini di kalangan sufi biasanya disebut shuhbah, atau persahabatan, tatkala seorang murid tinggal bersama dan melayani seorang mursyid dalam kurun waktu yang cukup lama.
Selain mempelajari teks Al-Qur’an dan hadis, para murid juga menganggap mursyid sebagai wujud-hidup sunnah. Mursyid melatih murid-muridnya untuk menapaki jenjang spiritual (maqam) hingga tingkat tertinggi, saat sang murid telah memiliki kedekatan dengan Ilahi dan dianugerahi makrifat. Murid yang beroleh makrifat kemudian dapat dikukuhkan oleh gurunya untuk bertindak sebagai mursyid. Setelah itu, mereka dapat bekerja merangkai perkembangan spiritual generasi murid berikutnya.
Landasan praktis tradisi sufi ini diartikulasikan dalam ajaran tentang mengikuti sunnah Nabi, baik secara batiniah maupun lahiriah, dengan mengikuti para mursyid Ba’alawi. Dalam hal ihwal ini, mengikuti sunnah sama dengan mengikuti para mursyid, yang nasab dan silsilahnya terhubung dengan Nabi.
Para murid yang memasuki tradisi sufi secara otomatis memiliki keterpautan dengan mursyid-nya serta para mursyid sebelumnya hingga bersambung ke Nabi, juga ikatan dengan sesama murid. Thariqah ‘Alawiyah tidak ditopang oleh infrastruktur ekonomi dan kelembagaan nan luas, seperti halnya tarekat besar yang terorganisasi di beberapa belahan dunia. Sebagaimana tarekat-tarekat lainnya di Arab Selatan, tarekat ini tetap merupakan silsilah spiritual yang didasarkan pada ikatan keluarga serta relasi murid-mursyid yang sporadis.
Perihal ini boleh jadi disebabkan oleh “minimnya sumber daya para elite penguasa Yaman” sehingga mereka tidak dapat mewakafkan pondok sufi dan landasan ekonomi untuk infrastruktur yang lebih maju. Akan tetapi, infrastruktur simbolik dan konseptual seperti ikatan kesetiaan (‘uqdah) antara mursyid dan murid serta silsilah penahbisan sufi (silsilah) yang ada mampu memunculkan rasa solidaritas vertikal dan horizontal di antara sesama anggota tarekat.
Thariqah ‘Alawiyah turut memunculkan suatu komunitas Islam elite (khawashsh). Anggota komunitas ini memandang para mursyid Ba’alawi sebagai penyebar dan sekaligus perwujudan sunnah. Mendaku sebagai keturunan langsung Nabi, kaum Ba’alawi merasa memiliki pengetahuan yang disampaikan secara internal lewat keluarga, dari ayah ke anak, tanpa perantara eksternal. Sebagai keturunan Nabi, mereka mampu menampilkan diri sebagai ahli waris Nabi yang lebih unggul tinimbang golongan liyan yang juga mengaku sebagai ahli waris Nabi.
Para wali penggarap
Komunitas elite berbasis perkotaan bukanlah satu-satunya formasi sosial yang dipupuk oleh kaum Ba’alawi di Hadramaut. Sumber-sumber hagiografi pada masa silam menampilkan pada pembentukan otoritas religius Ba’alawi di luar Kota Tarim sebagai berikut: (1) migrasi ulama-ulama Ba’alawi ke wilayah-wilayah baru, (2) dakwah, (3) usaha pertanian, serta (4) jalinan ikatan dengan kabilah-kabilah setempat. Semuanya memungkinkan para aktor bergerak itu untuk memupuk komunitas Islam anyar di area kabilah perdalaman. Para ulama Ba’alawi digambarkan sebagai para wali penggarap yang sehari-hari sibuk memupuk dua entitas hidup: tanaman dan jamaah (Ho 2006).
Dakwah biasanya dimulai sebelum ulama Ba’alawi memutuskan untuk tinggal di suatu daerah. ‘Umar bin ‘Abdurrahman Al-‘Aththas (w. 1661), contohnya, dikabarkan sering mengunjungi lembah ‘Amd dan Daw’an untuk berdakwah kepada para kabilah dan mendapatkan kepercayaan mereka, sebelum akhirnya menetap di kota sekitar Huraidhah. Di wilayah kabilah ini, ‘Umar tidak dapat menyebarkan sunnah dengan cara yang sama seperti guru-gurunya di Tarim.
Anggota kabilah di perdalaman tidak tertarik dengan kemampuannya dalam menjelaskan wacana skolastik nan selit belit. Mereka juga tak tertarik dengan kapasitasnya sebagai mursyid disiplin suluk yang sistematis. Namun, mereka lebih tertarik pada kemampuannya untuk bertindak sebagai pawang hujan, penyembuh, dan penolak bala.
Berkat kemampuannya dalam melakuan hal-hal gharib, ‘Umar kemudian dapat menggantikan otoritas keluarga ‘Afif di Huraidhah. Anekdot ini melukiskan bahwa keberhasilan otoritas religius yang baru itu bergantung pada kemampuan melanjutkan sekaligus menggantikan kerja otoritas sebelumnya.
Sesudah menetap di daerah nan anyar, ulama pendatang ini mulai menggarap lahan pertanian. Pertanian sangat penting karena kemampuan seorang ulama dalam menjamu orang lain merupakan kunci keberhasilannya dalam memupuk komunitas Islam yang melintasi sekat-sekat kabilah.
Alatas (2021: 53-4) meneroka, ada setidaknya dua alasan mengapa demikian. Pertama, penerimaan kabilah-kabilah atas otoritas ulama Ba’alawi ini didorong oleh kebutuhan mereka akan otoritas di luar sistem kabilah mereka yang tersekat-sekat dan menyebabkan pertikaian antarkabilah dan antargolongan. Ulama-ulama itu berada di tengah kabilah-kabilah, tapi bukan bagian dari mereka.
Artinya, sebagian dari otoritas para ulama tersebut dibangun di atas eksternalitas diri dan ajaran mereka dari struktur kekerabatan dan sistem moral kabilah, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menengahi pertikaian antarkabilah dan interkabilah. Akan tetapi, musyawarah jenjam sering berlarut-larut dan menelan banyak biaya. Di sepanjang prosesnya, ulama harus terus menjamu setiap pihak yang bertikai, serta mengundang mereka semua untuk makan bersama.
Kedua, agar diakui sebagai otoritas, ulama juga harus menyediakan ruangan dan pondokan bagi para pengunjung, peziarah, pengelana, dan ulama. Hagiografi pendiri permukiman ‘Inat, Abu Bakar bin Salim (w. 1584), misalnya, menuturkan tentang dapurnya yang memanggang seribuan roti untuk kaum papa, belum termasuk hidangan untuk para tamu yang datang tiada henti-hentinya.
Keramahtamahan
Putra dan penerusnya, Husain (w. 1634), juga dikenal royal dalam menjamu tamu. Husain bisa begitu karena kabarnya memiliki perkebunan kurma yang terhampar luas dan hasil panennya diekspor hingga ke Irak. Oleh sebab itu, konsep karam (kedermawanan), yang dijunjung tinggi oleh suku Arab, berperan penting dalam pembentukan otoritas religius di antara kabilah perdalaman.
Agar diakui oleh para anggota kabilah, ulama Ba’alawi pendatang harus menyamai atau melebihi kedermawanan yang ditunjukkan para pemimpin kabilah. Dengan usaha pertanian, mereka dapat memiliki pendapatan yang stabil untuk menawarkan keramahtamahan.
Setelah ulama pendatang Ba’alawi berhasil mendapatkan kepercayaan dan pengakuan kabilah setempat, barulah ia dapat mencoba bernegoisasi dengan mereka untuk mendirikan hautha atau haram (wilayah suci). Hautha ini dapat didirikan dengan membuka permukiman yang anyar sama sekali atau mempermaklumkan permukiman lama tempat ulama itu tinggal sebagai wilayah suci.
Kalakian, Ahmad bin Husain Al-‘Aydarus (w. 1578) dan Abu Bakar bin Salim (w. 1584) mendirikan permukiman suci baru, masing-masing di Thibi dan ‘Inat, sedangkan ‘Umar bin ‘Abdurrahman Al-‘Aththas (w. 1661) dan ‘Ali bin Hasan Al-‘Aththas (w. 1759) mempermaklumkan permukiman lama Huraidhah dan Ghaiwar sebagai hautha. Menyatakan suatu wilayah sebagai hautha memerlukan persetujuan kabilah-kabilah setempat. Persetujuannya menyatakan bahwa kabilah-kabilah setempat mengakui kedaulatan pendiri hautha ataupun kabilah-kabilah setempat menjamin netralitas serta keamanan hautha dan para penghuninya.
Senjata dan kekerasan dilarang keras di dalam hautha. Berkat kenetralan dan keamanan hautha itu, para ulama Ba’alawi dapat menggelar pasar dan pertemuan antarkabilah, menyelenggarakan pertemuan keagamaan, serta menggarap lahan pertanian. Pasca mempermaklumkan hautha, ulam menentukan batas wilayah yang anyar didirikannya itu dengan pilar-pilar bercat putih sebelum membangun infrastruktur yang lebih permanen seperti masjid.
Sepeninggal pendiri hautha, penerusnya yang merupakan keturunannya–disebut munshib–melanjutkan pengelolaan wilayah suci tersebut. Penerusnya itu membangun mausoleum makam di atas pusara sang pendiri serta menyelenggarakan peringatan tahunan. Ia melanjutkan kerja sehari-hari dalam merangkai jamaah. Tugasnya antara lain menyelesaikan konflik setempat, menyebarluaskan sunnah, serta menawarkan keramahtamahan.
=============
Baca artikel terkait PERSPEKTIF dalam kolom Sejarah atau kumpulan tulisan dari MUHAMMAD IQBAL