Demo Tolak Revisi UU TNI di Gedung DPR Sempat Memanas, Massa Aksi Panjat Pagar hingga Lempar Botol

by -23 views
demo-tolak-revisi-uu-tni-di-gedung-dpr-sempat-memanas,-massa-aksi-panjat-pagar-hingga-lempar-botol
Demo Tolak Revisi UU TNI di Gedung DPR Sempat Memanas, Massa Aksi Panjat Pagar hingga Lempar Botol

JAKARTA, (ERAKINI) – Aksi unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang (UU) TNI yang berlangsung di berbagai daerah pada Kamis (20/3/2025) berujung ricuh. Di Jakarta, massa yang berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI terlibat bentrokan dengan aparat keamanan. 

Sementara itu, di Semarang, aksi serupa di halaman kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah juga diwarnai ketegangan hingga pembubaran paksa dengan gas air mata.

Berdasarkan pantauan, sekitar pukul 16.00 WIB, situasi di depan Gedung DPR RI mulai memanas. Sejumlah demonstran memanjat gerbang DPR, melempari batu dan botol ke dalam area gedung, serta membentangkan spanduk penolakan terhadap revisi UU TNI.

Tak hanya itu, beberapa orang juga menembakkan petasan ke arah aparat yang berjaga di halaman depan gedung DPR. Aparat kepolisian yang bersiaga berupaya mengendalikan situasi agar tidak semakin memburuk.

Sarung Esbeha

Sementara itu, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Ghaffar Karim mengatakan, sejarah mencatat bahwa pada 17 Oktober 1952, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution, mengerahkan pasukan bersenjata ke depan Istana Merdeka dalam sebuah demonstrasi yang mengguncang pemerintahan Presiden Sukarno. 

Menurut dia, lanjut Ghaffar Karim, ribuan tentara, lengkap dengan tank dan meriam, ikut dalam aksi Soekarno untuk menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).

“Nasution merasa keberatan dengan campur tangan politisi sipil dalam urusan militer. Baginya, sipil tidak boleh mengganggu keputusan militer, sementara militer sebaliknya, dianggap sah untuk ikut campur dalam politik,” ujar Abdul Ghaffar Karim di akun facebook pribadinya, Kamis (20/3/2025).

Namun, ucap dia, Bung Karno dengan tegas menolak tuntutan tersebut. Dalam pidatonya di hadapan para tentara, ia menegaskan bahwa parlemen tidak bisa dibubarkan begitu saja. Sebagai solusi, ia berjanji akan mempercepat pelaksanaan pemilu untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

Demonstrasi akhirnya bubar, dan tak lama setelahnya, Nasution dicopot dari jabatannya sebagai KSAD—meskipun pada 1955, ia kembali diangkat ke posisi yang sama.

Setahun setelah insiden itu, dalam pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1953, Bung Karno dengan nada tegas mengingatkan tentang posisi TNI dalam politik:

“Angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik! Tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik! Angkatan perang harus berjiwa, ya, berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa, tapi ia tidak boleh ikut-ikut politik,” tuturnya. 

Kini, lebih dari tujuh dekade sejak peristiwa itu, ucap Abdul Ghaffar, kontroversi tentang peran TNI dalam politik kembali mencuat. Ironisnya, lanjut dia, kali ini keturunan biologis Bung Karno yang mengetok palu pengesahan revisi Undang-Undang TNI. 

“Sejarah memang kerap berulang, tetapi tidak semua keturunan biologis mampu menjadi penerus ideologis. Sabar ya, Bung,” pungkasnya. 

DSC_0067
webmaster

Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.

Tentang Penulis : webmaster

Gravatar Image
Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.