Matematika, Spiritualitas, dan Pembentukan Karakter​​​​​​​

by -35 views
matematika,-spiritualitas,-dan-pembentukan-karakter​​​​​​​
Matematika, Spiritualitas, dan Pembentukan Karakter​​​​​​​

Thobib Al Asyhar (Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI)

Mungkin di antara kita ada yang bertanya, apa hubungannya matematika dengan spiritualitas dan karakter? Jawab ringannya mudah sekali, hubungannya baik-baik saja. Kok bisa? Mari lanjut bacanya agar memiliki pemahaman yang utuh. Matematika itu tidak sekadar angka, tetapi memiliki filosofi yang bisa jadi bijakan kognitif untuk meningkatkan spiritualitas.

Dalam banyak kesempatan membina guru madrasah, saya sering katakan, bahwa guru matematika di madrasah seharusnya memberikan pemahaman tentang filosofi angka kepada anak-anak didiknya. Semua angka yang diajarkan dalam mapel (mata pelajaran) matematika dari angka 0 hingga tak terhingga pasti diawali dari titik. Titik adalah awal dari keberadaan semua angka yang ada. Artinya, tidak mungkin angka-angka itu ada jika tidak ada titik.

Demikian juga keberadaan alam raya ini muncul dari satu sumber wujud, yaitu Allah, yang oleh Thomas Aquinas disebut prima causa dalam Quinque Viae (lima jalan). Semua yang ada di alam raya ini adalah loberan (emanasi) dari wajibul wujud (wajib keberadaannya), meminjam istilah Ibnu Sina dan Al-Farabi. Alam raya ini ada disebabkan oleh “sebab pertama” yang tidak disebabkan oleh apapun. Filosofi ini membantah pandangan bahwa alam raya ini wujud dari ketiadaan dan faktor kebetulan. Bagaimana mungkin keberadaan berasal dari ketiadaan. Ini ditolak oleh logika!

Dari sini jelas, bahwa berawal dari pemahaman keberadaan angka saja sudah bisa dijadikan pijakan untuk meningkatkan keimanan atas keberadaan Allah. Matematika memang ilmu teoritik yang bersifat abstrak. Namun, dengan itu kita bisa mengembangkan filsafat ketuhanan. Apalagi matematika adalah cabang dari ilmu filsafat.

Satu hal lagi, bahwa seluruh angka matematika berawal dari angka 0. Artinya apa? Untuk menjadi “insan kamil” (manusia sempurna) harus mampu mengendalikan ego rendah ya g diaimbolkan dengan angka 0. Ego rendah manusia yang lebih dekat “hawa” cenderung memunculkan sifat keakuan yang sering menjadi faktor perusak dari kesucian jiwa.

Angka 0 dalam terminologi Jawa berarti suwung yang memiliki makna cukup dalam dan filosofis. Kata ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti kosong, hampa, atau tanpa isi. Dalam konteks spiritual dan filsafat, suwung lebih dari sekadar kehampaan fisik. Makna “suwung” berarti kekosongan yang bermakna. Suwung bukan berarti nihilisme atau ketiadaan mutlak, tetapi kondisi di mana seseorang melepaskan keterikatan duniawi dan ego.

Suwung juga bisa dipahami sebagai keadaan meditatif yang dikaitkan dengan laku spiritual, seperti tapa brata (bertapa) atau semedi (meditasi). Dengan mencapai suwung, seseorang bisa menemukan ketenangan batin dan kebijaksanaan sejati. Sementara dalam praktik kehidupan, “suwung” mengajarkan manusia sebaiknya tidak terikat secara berlebihan pada dunia materi. Sikap suwung berarti tidak terlalu berambisi, tidak diperbudak oleh hawa nafsu, dan menerima kehidupan dengan sikap legowo (ikhlas).

Konsepsi angka 0 yang berarti “suwung” dalam berbagai jenis pemaknaannya memiliki kesamaan dengan nilai-nilai sufisme (tasawuf). Bagi sufi, untuk bisa mencapai puncak penghambaan kepada Allah, seseorang harus bisa mencapai tingkatan fana’, atau ketiadaan ego yang mengarahkan pada pemenuhan hawa. Psikologi Barat menganggap pencapaian diri dibuktikan pada level “something”, seperti sikap sebaliknya sufisme menempatkan kesempurnaan diri jika manusia telah mencapai “nothing”.

Dalam tradisi Islam, matematika bukan sekadar ilmu eksakta, tetapi juga memiliki peran mendalam terhadap pembentukan karakter dan moralitas seseorang. Ibnu Miskawaih, pemikir filsafat etika, menekankan bahwa mengajarkan matematika kepada anak-anak bukan hanya melatih kecerdasan logis, tetapi juga menanamkan kecintaan terhadap kebenaran dan kebencian terhadap kepalsuan.

Dengan memahami bahwa 2 + 2 selalu sama dengan 4, anak-anak belajar menerima kenyataan yang objektif dan menolak kesalahan atau manipulasi. Sikap ini, jika tertanam sejak dini, akan membentuk pribadi yang berintegritas, yang tidak mudah tergoda oleh praktik-praktik manipulatif seperti kecurangan dalam perhitungan keuangan atau penyalahgunaan wewenang.

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Ikhwan al-Shafa, yang menghubungkan konsep proporsi dalam matematika dengan keseimbangan akhlak dan moralitas. Mereka berpendapat bahwa keseimbangan dalam susunan tubuh manusia mencerminkan keharmonisan dalam jiwa dan perilaku seseorang.

Jika suatu hal diposisikan secara proporsional dan seimbang, maka hasilnya akan indah dan baik, sementara ketidakseimbangan akan menghasilkan sesuatu yang tidak nyaman atau bahkan menakutkan. Konsep ini jelas mengajarkan bahwa keselarasan dalam berpikir dan bertindak sebagaimana dalam prinsip-prinsip matematika dan geometri, akan melahirkan pribadi yang berbudi pekerti mulia dan berperilaku adil dalam setiap aspek kehidupan. Wallahu a’lam

Thobib Al Asyhar (Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI)

DSC_0067
webmaster

Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.

Tentang Penulis : webmaster

Gravatar Image
Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.