Intimate Wedding, Resepsi Minimalis Perspektif Syariat Islam

by -7 views
intimate-wedding,-resepsi-minimalis-perspektif-syariat-islam
Intimate Wedding, Resepsi Minimalis Perspektif Syariat Islam

Arina.id – Dalam beberapa tahun terakhir, konsep intimate wedding menjadi tren di kalangan pasangan Muslim yang akan menikah. Tren ini berawal saat masa pandemi Covid-19, di mana pada saat itu pemerintah membatasi mobilitas masyarakat dan perkumpulan dengan jumlah massa yang besar.

Selain itu, konsep ini juga muncul sebagai respons terhadap berbagai faktor, seperti efisiensi biaya, dan keinginan untuk menciptakan suasana yang lebih sakral dan personal.

Konsep pernikahan semacam ini ternyata banyak digemari oleh generasi sekarang yang secara cermat lebih memilih menggunakan dana yang mereka miliki untuk keperluan substansial lainnya pasca pernikahan ketimbang mengeluarkan biaya lebih untuk resepsi besar.

Namun, bagaimana sebenarnya pandangan syariat Islam terhadap konsep pernikahan minimalis ini?

Pengertian Intimate Wedding

Menurut Vogue Balroom, sebagaimana dikutip oleh kumparan.com (18/07/2024), intimate wedding ialah pernikahan berskala kecil dengan mengundang tidak lebih dari 100 orang tamu. Ini mengikuti arti harfiah dari gabungan kata intimate wedding itu sendiri yang bermakna pernikahan intim, karena hanya dihadiri oleh orang-orang atau kerabat dekat pengantin.

Nuansa yang dihadirkan dalam intimate wedding pun lebih santai yakni pasangan pengantin bisa berbaur dengan mudah bersama para tamu undangan. Tentu ini bertolak belakang dengan konsep pernikahan tradisional yang mengundang tamu dalam skala besar yang tidak semuanya akrab dengan pengantin, plus mengharuskan pasangan pengantin berdiri sepanjang hari menyalami para tamu undangan.

Nampaknya, prinsip utama intimate wedding ini terletak pada terbatasnya tamu undangan yang hanya terdiri dari kerabat dan teman dekat. Sementara itu, dalam prosesi akad nikahnya tetap sama seperti pernikahan pada umumnya. Beberapa bahkan menganggap jadi terasa lebih sakral karena bisa dilangsungkan dengan khidmat.

Dalam perkembangannya, setelah penulis melakukan berbagai macam penelusuran, intimate wedding ini dipahami secara beragam. Ada yang mengartikan intimate wedding sebagai nikah di KUA saja tanpa perlu resepsi. Ada juga yang mengartikannya sebagai resepsi nikah dengan hanya mengundang teman dan kerabat dari mempelai pengantin tanpa harus mengundang teman dan kolega kedua orangtua. Ada pula yang mengartikannya sebagai resepsi pernikahan dengan hanya mengundang teman dan kerabat tanpa membatasi mereka terhubung dengan mempelai pengantin atau orangtua.

Perspektif Syariah

Konsep intimate wedding ini tidak terkait dengan prosesi akad nikah, namun terkait dengan resepsi. Ada yang mengartikannya sebagai akad nikah tanpa resepsi, ada pula yang mengartikannya sebagai akad nikah dengan resepsi terbatas.

Dalam syariat Islam, Rasulullah SAW memberikan anjuran agar setiap akad nikah itu diberi gelaran walimah atau resepsi:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.

Artinya: “Adakanlah walimah, walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari, no. 5167)

Walimah itu sendiri maknanya ialah mengadakan jamuan makan untuk para tamu undangan. Menghadiri undangan jamuan makan ini hukumnya ialah fardlu ain kecuali jika kita temukan kemaksiatan di dalamnya sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi lainnya:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه كان يقول: شر الطعامِ طعامُ الوليمة، يُدعى لها الأغنياء ويُترك الفقراء، ومن تَرك الدعوة فقد عصى الله ورسوله صلى الله عليه وسلم

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA bahwasanya ia berkata, “Sejelek-jelek makanan adalah makanan pada acara walimah (resepsi) di mana yang diundang adalah orang-orang kaya saja dan tidak diundang orang-orang miskin. Siapa yang tidak memenuhi undangan walimah, maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Perlu diingat dalam hal ini bahwa yang menjadi catatan ialah haram membeda-bedakan orang kaya dan miskin dalam undangan walimah. Sementara untuk hukum menggelar walimahnya itu sendiri ialah sunah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib:

قَوْلُهُ: (وَالْوَلِيْمَةُ عَلَى الْعُرْسِ مُسْتَحَبَّةٌ)، وَالْمُرَادُ بِهَا طَعَامٌ يُتَّخَذُ لِلْعُرْسِ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: تَصَدَّقَ الْوَلِيْمَةُ عَلَى كُلِّ دَعْوَةٍ لِحَادِثِ سُرُوْرٍ. وَأَقَلُّهَا لِلْمُكْثِرِ شَاةٌ، وَلِلْمُقِلِّ مَا تَيَسَّرَ 

Artinya: “Perkataan: (Dan walimah pernikahan itu disunahkan), yang dimaksud dengan walimah adalah jamuan makanan yang disediakan untuk pernikahan. Imam Asy-Syafi’i mengatakan: Walimah itu disedekahkan pada setiap tamu undangan untuk peristiwa yang mendatangkan kebahagiaan. Batas minimalnya walimah bagi orang yang mampu adalah seekor kambing, dan bagi yang kurang mampu adalah hidangan apapun semampunya.”

Karena sunah, maka bagi seseorang yang memilih untuk menggelar akad nikah di KUA saja tanpa menggelar resepsi, dia tidak berdosa dan boleh-boleh saja melakukan hal itu. Sementara jika menggelar resepsi terbatas dengan hanya mengundang teman dan kerabat mempelai pengantin tanpa mengundang teman dan kolega orangtua, maka jika memang hal itu telah diridlai oleh pihak orangtua dengan alasan tertentu seperti keterbatasan dana, maka hukumnyan boleh-boleh saja.

Kecuali jika dengan pertimbangan tersebut ada unsur kesengajaan menyakiti orangtua, maka hukumnya haram dari sisi haram menyakiti orangtua. Maka lebih baik sekalian tidak usah ada resepsi sama sekali jika demikian.

Secara umum, hukum pernikahan menggunakan konsep intimate wedding boleh-boleh saja selama tidak ada kesan hanya mengundang orang kaya tanpa mengundang orang miskin. Selama unsur-unsur pokok dari akad nikah tetap terpenuhi. Justru, intimate wedding bisa membawa beberapa nilai positif yang sejalan dengan ajaran Islam, di antaranya:

1. Menghindari Israf (Pemborosan)

Islam melarang pemborosan dalam segala bentuknya, termasuk dalam acara pernikahan. Dengan menyelenggarakan intimate wedding, pasangan dapat menghindari pengeluaran berlebihan dan lebih fokus pada makna pernikahan itu sendiri, bukan pada kemewahannya.

2. Menjaga Kesederhanaan

Rasulullah dan para sahabat mencontohkan pernikahan yang sederhana namun penuh keberkahan. Intimate wedding memungkinkan pasangan untuk mengikuti sunah ini dengan lebih mudah.

3. Meminimalkan Potensi Maksiat

Pernikahan besar sering kali menjadi tempat terjadinya hal-hal yang bertentangan dengan syariat, seperti campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hijab, musik yang berlebihan, hingga penampilan yang tidak sesuai adab Islam. Dengan skala kecil dan tamu terbatas. Intimate wedding lebih mudah dikendalikan agar tetap sesuai nilai-nilai Islam.

4. Khidmat dalam Akad dan Doa

Intimate wedding cenderung lebih khidmat dan sakral karena tidak dibebani dengan berbagai acara hiburan. Ini memberi ruang bagi pasangan dan keluarga untuk lebih fokus pada makna akad nikah dan doa untuk keberkahan rumah tangga.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa intimate wedding adalah bentuk pernikahan yang sah dan bahkan sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam jika dilakukan dengan niat baik dan sesuai syariat. Konsep ini tidak hanya hemat secara materi, tetapi juga dapat membawa keberkahan karena menjaga kesederhanaan, menghindari pemborosan, dan meminimalkan potensi maksiat.

Pernikahan bukan soal megahnya pesta, melainkan tentang kuatnya komitmen, kesucian niat, dan keberkahan yang diharapkan dari Allah SWT. Oleh karena itu, baik intimate wedding maupun pernikahan besar, yang paling penting adalah tetap berlandaskan syariat dan nilai-nilai Islam. Wallahu a’lam bish shawab.

DSC_0067
webmaster

Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.

Tentang Penulis : webmaster

Gravatar Image
Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.