Mendampingi dengan Empati: Panduan untuk Merespons Korban Kekerasan Seksual

by -15 views
mendampingi-dengan-empati:-panduan-untuk-merespons-korban-kekerasan-seksual
Mendampingi dengan Empati: Panduan untuk Merespons Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah laporan terjadinya kekerasan seksual terus menginjak angka ratusan ribu. Catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan melaporkan selama tahun 2024 jumlah pelapor mencapai 445.502. Kita boleh menduga, angka sesungguhnya bisa kelipatan dua. Kekerasan seksual selalu menyerupai gunung es, jumlah yang tidak diketahui bisa lebih banyak ketimbang yang diketahui.

Kekerasan seksual merupakan pengalaman traumatis yang meninggalkan luka mendalam, baik secara fisik maupun psikologis. Korban tidak hanya membutuhkan keadilan hukum, tetapi juga pendampingan penuh empati dan pengertian. Sebagai individu, penting untuk mengetahui cara mendampingi korban agar tidak memperparah traumatis yang mereka rasakan. Kesalahan dalam berbicara dan bersikap bisa memicu rasa sakit yang lebih dalam.

Elli Nur Hayati melalui buku Panduan untuk Mendampingi Perempuan Korban Kekerasan (Konseling Berwawasan Gender) (2002) memberikan panduan mendasar untuk merespons korban kekerasan seksual dengan empati dan kehati-hatian. Mengingat kasus kekerasan kerap terjadi tanpa memandang waktu, tempat, dan latar belakang, informasi ini terasa amat penting untuk diketahui bersama.

Panduan untuk Merespons Korban Kekerasan Seksual 
Panduan merespons korban kekerasan seksual dengan dasar keadilan gender amat dibutuhkan karena jika tidak digunakan bisa berpeluang menempatkan korban sebagai pihak lemah dan membuka peluang terjadinya kekerasan seksual kembali.

Berikut beberapa prinsip dalam merespons korban kekerasan seksual.

1. Tidak Mengadili (Non-judgement)
Terkadang orang-orang memandang kekerasan terhadap perempuan terjadi karena kesalahan korban. Mitos-mitos yang banyak diyakini masyarakat kerap menyudutkan korban, seperti “perempuan itu diperkosa karena genit”, atau “perempuan itu ditelantarkan suaminya karena tidak pandai menyenangkan hati suami.” 

Meyakini mitos tersebut bisa menjerumuskan pada menyalahkan korban. Padahal, kekerasan seksual sering terjadi karena persoalan kesalahan konstruksi sosial budaya atas laki-laki dan perempuan atau pembagian gender yang tidak adil.

Untuk itu ada formulasi kalimat yang sebaiknya tidak diungkapkan pada korban kekerasan karena dapat menimbulkan kesan menyalahkan korban. Beberapa kalimat tersebut diantaranya:

“Bagaimana model pakaian kamu waktu itu, sehingga teman laki-laki kamu sampai memperkosa?”

“Apa yang kamu lakukan sehingga menyebabkan suamimu kalap?”

Dua kalimat di atas sangat berpotensi melukai hati korban karena bertendensi menyalahkan. Ada baiknya bila diganti dengan kalimat yang lebih netral seperti “Bisa kamu ceritakan bagaimana awal mula kejadian itu?”

2. Menunjukkan Rasa Empati
Langkah yang juga paling penting adalah memberikan ruang bagi korban untuk berbicara. Dengarkan dengan penuh perhatian tanpa menyela atau menginterupsi. Hindari pertanyaan yang menyalahkan, seperti “kenapa kamu ada di tempat itu?” atau “kenapa tidak melawan?”.

Sebaliknya, gunakan ungkapan yang menunjukkan empati, seperti “aku di sini untuk mendengarkan,” atau “apa yang bisa aku lakukan untuk membantu?”

Mendengarkan dengan empati berarti menunjukkan bahwa kita hadir sepenuhnya untuk korban tanpa membawa asumsi atau penilaian pribadi. Hal ini memberikan rasa aman bagi korban untuk berbagi cerita.

3. Membangun Hubungan yang Egaliter (Setara)
Prinsip ini dimaksudkan untuk menghindari relasi kuasa (power relation) antara korban dan pendengar, seolah pendengar adalah orang yang lebih tinggi atau berdaya ketimbang korban. Ketimpangan kekuasaan akan memberikan peluang terjadinya pemaksaan kehendak dan hal lain yang justru tidak memberdayakan korban.

4. Hindari Rasa Penasaran Berlebihan
Ketika korban berbagi, mungkin ada kecenderungan untuk bertanya lebih banyak detail mengenai kejadian tersebut. Namun, hal ini sering kali dapat membebani korban dan membuat mereka merasa terpojok. Biarkan korban berbagi sesuai kenyamanan mereka tanpa merasa didesak untuk menjelaskan setiap detail yang menyakitkan.

5. Berikan Dukungan, Bukan Solusi Instan
Terkadang, ada keinginan untuk segera “memperbaiki” situasi dengan memberikan saran atau solusi. Namun, yang paling dibutuhkan korban adalah pendampingan, bukan nasihat. Misalnya, daripada mengatakan, “kamu harus melaporkannya,” lebih baik tanyakan, “apakah kamu ingin kita mencari bantuan hukum atau konselor bersama-sama?”

Biarkan korban menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya untuk dijadikan modal bagi keputusan yang akan dibuat. Biarkan juga korban memilih langkah apa yang kelak akan diambil. Pendengar lebih baik hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan atas beberapa pilihan yang diajukan. Bila keputusan dan solusi bukan ditentukan oleh korban maka proses ini sama saja dengan mengembalikan perempuan pada posisi yang lemah.

6. Pemberdayaan Informasi
Pemberdayaan bisa dilakukan dengan cara penyadaran gender, pemberian informasi seputar masalah yang sedang menimpanya, memberi dukungan, membantu memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam pembuatan keputusan, dan membantu memperoleh insight (pengertian yang mendalam tentang diri sendiri dan persoalannya).

Jika tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut karena keterbatasan informasi yang kita miliki, kita dapat menghubungi komunitas atau lembaga yang bergerak pada isu perempuan (dengan persetujuan korban) agar korban dapat ditangani dengan tepat.

7. Hindari Menjadikan Diri Pusat Perhatian
Empati bukan berarti menyamakan pengalaman korban dengan diri sendiri. Hindari pernyataan seperti “aku juga pernah mengalami hal yang hampir sama,” karena ini dapat mengalihkan perhatian dari korban. Fokuskan perhatian pada kebutuhan dan perasaan mereka.

8. Jaga Kerahasiaan
Kepercayaan adalah landasan dalam mendampingi korban kekerasan seksual. Jangan pernah membagikan cerita korban tanpa izin mereka, bahkan kepada keluarga atau teman dekat. Menghormati privasi mereka menunjukkan bahwa pendengar serius dalam mendukung dan melindungi mereka.

9. Ajukan Bantuan Profesional
Meskipun dukungan emosional amat penting, korban seringkali tetap membutuhkan bantuan profesional, seperti konselor, psikolog, atau layanan pendampingan hukum. Kita bisa membantu memberikan informasi tentang organisasi atau pihak berwenang yang dapat membantu, tetapi dengan tetap hargai keputusan korban apakah ingin menghubungi pihak tersebut atau tidak.

Empati adalah dasar dalam mendampingi korban kekerasan seksual. Dengan mendengarkan, memahami, dan memberikan dukungan yang tulus, kita dapat membantu mereka dalam proses pemulihan. Penting untuk diingat bahwa setiap langkah kecil untuk mendampingi dengan empati bisa memberikan pengaruh besar dalam hidup korban.
 


$data['detail']->authorKontri->kontri”>                       </p>
<p><a href=Yulita Putri
Bergiat di Bilik Literasi dan Kamar Kata Karanganyar.

DSC_0067
webmaster

Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.

Tentang Penulis : webmaster

Gravatar Image
Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.