Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto berniat merelokasi seribu warga Gaza Palestina ke Indonesia sebagai respons kemanusiaan terhadap situasi krisis akibat invasi militer Israel. Kebijakan ini disampaikan sebagai bentuk solidaritas dan empati terhadap penderitaan rakyat Palestina yang setiap harinya menghadapi kekerasan sistematis dari serdadu zionis.
Namun, dalam politik, terutama pada titik di mana kekerasan struktural telah berlangsung selama puluhan tahun, sesungguhnya tidak ada kebijakan netral. Tidak ada keputusan bebas dari kerangka epistemik yang membentuknya. Dalam konteks ini, penting untuk membaca kebijakan relokasi bukan sebagai aksi individual yang terpisah dari sejarah, tetapi sebagai bagian dari reproduksi kekuasaan yang bekerja tidak melalui paksaan terang-terangan, tetapi melalui apa yang tampak sebagai penyelamatan.
Kemudian di titik ini pulalah logika yang dijelaskan Giorgio Agamben dalam “Homo Sacer” menjadi penting untuk memahami posisi Indonesia dalam krisis Palestina hari ini. Agamben menunjukkan bahwa kekuasaan modern telah bergeser dari sekadar melarang dan menghukum ke bentuk yang lebih dalam, yaitu kemampuan untuk mengatur kehidupan.
Pada konteks itu, yang menjadi pusat perhatian bukan lagi siapa boleh hidup atau mati, tetapi siapa yang dimasukkan dalam tatanan politik dan siapa yang dikeluarkan dari sana. Manusia yang dikeluarkan dari tatanan politik tetapi tetap hidup itulah yang disebut Agamben sebagai bare life. Ia adalah tubuh biologis yang tidak lagi memiliki klaim atas ruang, hak, dan representasi. Ia hidup tetapi tidak hadir dalam peta politik. Ia eksis tetapi tidak diakui sebagai subjek.
Gaza, dalam terminologi Agamben, adalah sebuah ironi. Gaza telah menjadi ruang pengecualian, yaitu ruang di mana hukum ditangguhkan tetapi kekuasaan tetap berlangsung. Di sana kekuasaan tidak hadir untuk menjamin hukum, melainkan untuk menegaskan bahwa hukum bisa diabaikan demi alasan darurat yang tak pernah berakhir.
Ketika Prabowo sebagai kepala negara menyatakan akan menerima warga Gaza ke Indonesia, hakikatnya ia tidak sedang memutuskan hal sederhana. Ia sedang memperluas jangkauan dari kekuasaan yang bekerja melalui pengecualian. Dengan membawa tubuh warga Palestina keluar dari ruang konflik dan membawanya ke wilayah asing, Indonesia tidak sedang menyelamatkan mereka dari kematian. Indonesia sedang mengubah status mereka dari subjek politik yang berhak atas tanah menjadi bare life yang hidup tanpa tempat. Artinya, tanpa disadari atau tidak, negara ini telah masuk ke dalam logika kekuasaan yang mengelola kehidupan tanpa harus mengakuinya sebagai bagian dari tatanan politik yang sah.
Relokasi sebagai kebijakan tidak bisa dilepaskan dari strategi pemusnahan nasional yang telah lama menjadi bagian dari agenda kolonialisme Israel atas Palestina. Sejak awal, yang diperjuangkan oleh rakyat Palestina bukan hanya hak untuk hidup, tetapi hak hidup di tanah sendiri. Mereka tidak sekadar menuntut gencatan senjata, mereka menuntut keberadaan. Mereka ingin tetap berada dalam sejarah dan geografi yang memberi mereka identitas dan klaim.
Oleh sebab itu, dengan menyetujui relokasi bahkan dalam skala terbatas, sebenarnya Indonesia sedang menandai titik di mana negara ini mulai menerima bahwa Gaza bukan lagi tempat layak huni. Ini adalah narasi sangat berbahaya karena di situlah proyek kolonial mendapatkan justifikasinya. Jika warga Palestina sendiri telah pergi, jika negara-negara sahabat telah menerima mereka, maka akan semakin mudah bagi kekuasaan kolonial menyatakan bahwa tanah itu tidak lagi menjadi milik siapa pun. Bahwa pengusiran telah selesai bukan dengan paksaan, tetapi dengan konsensus kemanusiaan.
Dalam sejarah kolonialisme modern, relokasi tidak pernah netral. Ia adalah instrumen kekuasaan yang membungkus penghapusan dengan bahasa perlindungan. Di Bosnia, Myanmar, dan Rwanda kita telah melihat bagaimana bahasa kemanusiaan digunakan untuk menyembunyikan logika pemisahan dan penghapusan. Yang disebut penyelamatan pada kenyataannya adalah bentuk baru dari pengaturan tubuh manusia di luar struktur politiknya.
Ketika Indonesia menawarkan ruang bagi seribu warga Gaza, maka yang ditawarkan bukanlah rumah melainkan penangguhan. Bukan keberadaan melainkan pelarian. Dan pelarian yang dilegalkan negara adalah pengakuan bahwa tanah yang ditinggalkan sudah bukan lagi tempat kembali.
Prabowo sebagai Presiden tidak bisa berdiri di antara dua logika. Ia tidak bisa menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dan pada saat sama menerima warga Palestina dipindahkan ke tanah yang bukan milik mereka. Ini bukan tentang jumlah. Ini bukan tentang satu ribu atau sepuluh ribu. Ini tentang pemahaman bahwa dalam konflik seperti ini, satu tubuh yang dipindahkan adalah satu pengakuan bahwa tanah asal telah dilepaskan.
Presiden seharusnya tidak membaca penderitaan warga Gaza sebagai penderitaan biologis semata. Ia harus membaca bahwa penderitaan itu bagian dari perjuangan untuk tetap berada. Bahwa mereka bukan ingin hidup di mana saja, tetapi ingin hidup di tempat yang telah dirampas dari mereka.
Kebijakan luar negeri Indonesia selama ini dikenal sebagai posisi mendukung kemerdekaan Palestina secara konsisten. Ini bukan posisi legalistik semata, tetapi posisi simbolik yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia sebagai negara pascakolonial yang berjuang untuk mempertahankan eksistensinya. Maka ketika Presiden RI menyampaikan kebijakan, maka secara tidak langsung membenarkan pengosongan Gaza, yang terjadi bukan saja perubahan sikap, tetapi pergeseran struktur etis yang mendasari politik luar negeri kita.
Pendek kata, negara ini sedang bergeser dari posisi dukungan terhadap perjuangan menjadi posisi fasilitator dari relokasi yang merupakan bagian dari proses penindasan itu sendiri. Padahal Agamben telah memperingatkan bahwa dalam kekuasaan modern, kekuatan tertinggi bukan lagi pembunuhan, tetapi kemampuan untuk memisahkan kehidupan dari politiknya. Relokasi adalah manifestasi dari kekuasaan itu. Ia tidak menggunakan kekerasan tetapi tetap menghasilkan efek yang sama. Ia tidak menciptakan kematian tetapi tetap menghancurkan eksistensi politik. Dan dalam konteks Palestina hari ini, menyelamatkan warga Gaza tanpa mempertahankan mereka di Gaza adalah bentuk paling mutakhir dari kekalahan yang dibungkus dengan belas kasihan.
Yang dibutuhkan rakyat Palestina bukan ruang pelarian tetapi ruang bertahan. Yang mereka perlukan bukan relokasi tetapi rekognisi. Yang harus dilakukan Indonesia bukan menyediakan tempat baru tetapi memperkuat posisi mereka di tempat lama. Ini bukan tentang pengungsian. Ini tentang hak atas tempat. Dan tempat dalam politik bukan sekadar koordinat geografis. Ia adalah medan klaim. Ia adalah medan perjuangan. Ia adalah tempat di mana sejarah menjadi mungkin.
Maka dari itu, ketika tempat itu dihilangkan maka yang hilang bukan hanya ruang tetapi waktu. Bukan hanya rumah tetapi masa depan. Maka satu relokasi hari ini akan menjadi banyak penghapusan besok. Dan sejarah tidak akan mencatat siapa yang niatnya baik tetapi siapa yang membiarkan tempat hilang dari tangan orang yang berhak atasnya.
Virdika Rizky Utama
Direktur Eksekurtif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional, President University.