Waktu Ideal Resepsi Pernikahan menurut Ulama 4 Mazhab

by -16 views
waktu-ideal-resepsi-pernikahan-menurut-ulama-4-mazhab
Waktu Ideal Resepsi Pernikahan menurut Ulama 4 Mazhab

Arina.id – Resepsi atau walimah pernikahan adalah bentuk syukur dan media syiar dalam Islam yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Namun, para ulama 4 mazhab berbeda pendapat mengenai waktu ideal pelaksanaannya. Meski ada perbedaan, namun ragam pendapatnya ini bisa saling melengkapi.

Berikut adalah uraian lengkap mengenai waktu pelaksanaan walimah menurut mazhab Maliki, Hanafi, Hambali, dan Syafi’i yang disampaikan oleh Syekh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Al-Fiqhu ‘Ala Madzahibil Arba’ah (2014: juz 2, h. 34-35).

Mazhab Maliki

Menurut ulama mazhab Malikiyah, walimah sebaiknya dilaksanakan ketika terjadinya dukhul, yaitu saat suami mulai tinggal bersama istrinya. Namun, mereka juga membolehkan pelaksanaan sebelum dukhul jika dianggap lebih tepat untuk menyebarluaskan kabar pernikahan. Tujuan utama walimah adalah isyharun nikah (menyebarkan informasi pernikahan), sehingga waktu pelaksanaan bisa disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasangan serta adat yang berlaku.

Ada juga sebagian ulama Malikiyah lebih menyukai walimah dilakukan sebelum dukhul, karena penyebaran kabar pernikahan lebih bermakna jika dilakukan sebelum pasangan hidup bersama. Namun bila tidak memungkinkan, maka pelaksanaan setelah dukhul pun tidak masalah. Bahkan Imam Malik dalam salah satu riwayat disebutkan lebih condong kepada pelaksanaan setelah dukhul jika sebelumnya terlewatkan. Hal ini menunjukkan adanya kelonggaran dalam pelaksanaannya.

Dalam pandangan mazhab ini, pengulangan pembuatan jamuan makan diperbolehkan asalkan tamu undangannya berbeda. Hal yang dianjurkan adalah cukup satu kali undangan jamuan, namun jika ingin mengulanginya pada waktu yang berbeda untuk kelompok tamu yang berbeda, hal itu dibolehkan. Dengan begitu, walimah tetap menjaga esensi syukur dan syiar tanpa menjadi beban yang berlebihan bagi keluarga pengantin.

Mazhab Hanafi

Ulama mazhab Hanafi memiliki pandangan bahwa waktu ideal pelaksanaan walimah adalah saat terjadinya dukhul, maksudnya ketika pasangan mulai hidup bersama dalam rumah tangga. Menurut ulama mazhab Hanafi, pada momen inilah kehidupan pernikahan benar-benar dimulai, sehingga layak dirayakan dengan walimah. Pelaksanaan pada waktu ini juga dianggap sesuai dengan praktik Nabi saw dalam sebagian riwayat.

Walaupun walimah dilakukan saat dukhul, mazhab Hanafi memperbolehkan jamuan makan dilanjutkan pada hari berikutnya. Artinya, walimah dapat dilakukan pada hari pertama setelah dukhul dan diperpanjang ke hari kedua. Namun setelah dua hari, walimah dianggap selesai, dan tidak disunnahkan untuk terus dilanjutkan. Al-Juzairi menjelaskan:

وَتَسْتَمِرُّ ٱلدَّعْوَةُ إِلَى ٱلطَّعَامِ بَعْدَ ٱلْبِنَاءِ وَٱلْيَوْمِ ٱلَّذِي بَعْدَهُ، ثُمَّ يَنْقَطِعُ ٱلْعُرْسُ وَٱلْوَلِيمَةُ.

Artinya, “Dan undangan makan (jamuan) terus berlanjut setelah akad nikah (masuknya pengantin pria kepada wanita) dan hari setelahnya, kemudian acara pernikahan dan walimah pun berakhir.” (Al-Juzairi, juz 2, h. 34).

Mazhab Hambali

Ulama mazhab Hambali memiliki pandangan yang lebih longgar mengenai waktu pelaksanaan walimah. Mereka memperbolehkan walimah dilaksanakan sejak setelah akad nikah hingga berakhirnya perayaan pernikahan, tanpa batas waktu yang kaku. Bahkan, jika walimah dilaksanakan sebelum dukhul namun dalam waktu yang tidak terlalu jauh, hal tersebut tetap dibolehkan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

Namun, mazhab Hambali juga memberikan ketentuan tentang durasi walimah. Menurut mereka, walimah bisa berlangsung selama dua hari, yaitu hari pertama dan kedua. Jika perayaan dilanjutkan hingga hari ketiga, maka hukumnya makruh. Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw berikut:

ٱلْوَلِيمَةُ أَوَّلُ يَوْمٍ حَقٌّ، وَٱلثَّانِي مَعْرُوفٌ، وَٱلثَّالِثُ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ.

Artinya, “Walimah pada hari pertama adalah hak (yang benar dan disyariatkan), hari kedua adalah kebaikan (diperbolehkan), dan hari ketiga adalah riya (pamer) dan mencari popularitas.”

Mazhab Syafi’i

Ulama mazhab Syafi’i berpandangan bahwa walimah dapat dilaksanakan sejak setelah akad nikah dan tidak gugur meskipun tertunda dalam waktu lama. Mereka tidak membatasi secara ketat kapan walimah harus dilaksanakan selama masih dalam konteks perayaan pernikahan. Pendapat ini memberikan fleksibilitas bagi pasangan untuk menyesuaikan waktu walimah dengan kondisi mereka masing-masing.

Beberapa ulama Syafi’iyah bahkan berpendapat bahwa walimah dapat berlangsung selama tujuh hari bagi mempelai wanita yang perawan (bikr) dan tiga hari bagi janda (tsayyib). Setelah waktu tersebut, walimah dianggap sebagai qadha’ (pelaksanaan tertunda), namun tetap sah dan dibolehkan. Meskipun demikian, menurut mayoritas, waktu terbaik pelaksanaan walimah adalah setelah terjadinya dukhul.

Perbedaan pandangan ini menunjukkan keluasan ajaran Islam dalam memberikan ruang bagi umat untuk menyesuaikan ibadah dan sunnah dengan keadaan masing-masing. Setiap mazhab memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an, hadits, dan praktik para sahabat, sehingga tidak ada yang dapat dikatakan salah. Hal yang terpenting adalah menjaga tujuan utama dari walimah, yaitu syukur, syiar, dan silaturahmi.

Dalam praktiknya, umat Islam bebas memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi dan maslahatnya. Selama walimah dilakukan dengan adab dan niat yang baik, serta tidak melanggar prinsip syariat seperti tabarruj (berhias berlebihan), ikhtilat (percampuran bebas laki-laki dan perempuan), atau israf (berlebihan), maka walimah tersebut termasuk amal yang berpahala. Keempat mazhab telah membuka jalan yang luas untuk menjalankan sunnah ini dengan penuh makna.

Kesimpulannya, waktu pelaksanaan walimah pernikahan menurut empat mazhab sangat variatif. Malikiyah dan Hanabilah memberi kelonggaran sebelum dan sesudah dukhul, Hanafiyah menekankan pada saat dukhul, dan Syafi’iyah memperbolehkan sejak akad. Perbedaan ini bukanlah pertentangan, melainkan bukti rahmat dalam khazanah fiqih Islam. Yang utama adalah menjaga niat, syiar, dan nilai-nilai syariah dalam perayaan walimah.

Hanya saja, untuk konteks Indonesia kita bisa memakai pendapat mazhab Syafi’i mengingat mayoritas umat Islam di negara ini mengikuti uama Syafi’iyah dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Sehingga, biasa kita jumpai walimah di masyarakat kita biasanya dilakukan langsung setelah prosesi akad. Ada juga yang menunda walimah setelah beberapa waktu mengingat dalam Syafi’iyah pelaksanaannya cukup fleksibel. Wallahu a’lam.


$data['detail']->authorKontri->kontri”>                       </p>
<p><a href=Muhamad Abror
Dosen Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta. Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta.

DSC_0067
webmaster

Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.

Tentang Penulis : webmaster

Gravatar Image
Santri Nderek Kyai Mawon. Urip mung numpang sujud sing apik. Gak usah ngatur Tuhan, yang penting selaluu optimis dan penuh harapan.